RSS

Masalah, Tantangan, dan Peluang Pengelolaan Air Bersih DKI Jakarta

28 Mar

Abstrak

Air bersih merupakan salah satu kebutuhan mendasar makhluk hidup terutama manusia. Manusia membutuhkan air bersih untuk bertahan hidup.  Kita bisa melihat betapa air sangat melekat dengan kehidupan manusia dengan melihat unsur utama di dalam tubuh manusia itu sendiri adalah air. Berdasarkan hasil riset ilmiah, hampir 71-80% prosentase tubuh manusia adalah air. Tidak hanya itu, air juga berguna menunjang berbagai aktivitas kehidupan manusia, terlebih di era seperti sekarang ini dimana aktivitas kegiatan manusia sudah semakin kompleks.  Air menjadi salah satu faktor penunjang keberhasilan dari berbagai aktivitas manusia. Air yang dibutuhkan oleh manusia pastinya adalah air bersih yang berkualitas. Akan tetapi, pada kenyataannya untuk memperoleh air bersih yang berkualitas, terutama di daerah perkotaan seperti DKI Jakarta tidak semudah yang dibayangkan. Banyak permasalahan yang dihadapi baik oleh masyarakat sebagai pengguna air bersih maupun oleh pemerintah sebagai regulator pembuat kebijakannya. Permasalahan yang ada akan dapat diatasi manakala masalah, peluang dan tantangan dari tata kelola air bersih di DKI Jakarta dapat diketahui sehingga nantinya dapat diambil solusi terbaik sebagai upaya pemenuhan air bersih yang berwawasan lingkungan.  Permasalahan kelangkaan air bersih dan juga pelanggaran terhadap peraturan penggunaan air tanah DKI Jakarta tentu tidak akan terjadi lagi setelah tata kelola air bersih yang berwawasan lingkungan tercipta.

Keywords: air; kelangkaan;kebijakan, lingkungan

Pada  disiplin ilmu ekonomi dijelaskan bahwa permasalahan utama yang sebenarnya dihadapi oleh setiap manusia di dalam kehidupannya adalah adanya kelangkaan. Kelangkaan (scarcity) merupakan suatu kondisi dimana jumlah alat pemenuhan kebutuhan manusia terbatas atau lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah kebutuhan manusia itu sendiri yang jumlahnya tidak terbatas. Oleh karenanya, dengan adanya kelangkaan tersebut manusia dituntut melakukan usaha untuk bisa memperoleh kebutuhan yang jumlahnya memang terbatas.  Berbagai upaya akan senantisa dilakukan oleh manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan kemampuan diri untuk bisa menikmati berbagai barang dan jasa yang dibutuhkan. Selain itu, karena kelangkaan yang ada maka setiap manusia diharapkan mampu bertindak bijak dalam menikmati barang dan jasa yang diperolehnya, misalnya dengan melakukan penghematan atau penggunaan barang dan jasa seperlunya saja.

Kelangkaan yang ada semakin dapat dirasakan manakala jumlah manusia yang menikmati barang dan jasa meningkat sedangkan jumlah barang dan jasa yang ada tidak mengalami peningkatan yang signifikan seperti halnya yang terjadi pada peningkatan jumlah manusia.  Hal ini akan menjadi masalah yang serius manakala kelangkaan yang ada tidak bisa diatasi. Banyak contoh di kehidupan nyata yang menunjukkan bahwa dengan peningkatan jumlah manusia (penduduk), maka alat pemenuhan kebutuhan yang dalam hal ini berupa barang dan jasa juga dituntut untuk bisa meningkat agar kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi. Jika hal ini tidak mampu terealisasi maka dapat  menimbulkan banyak permasalahan di masyarakat. Salah satu contoh kebutuhan hidup manusia yang menjadi permasalahan akibat kelangkaan adalah air bersih.

Air bersih merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Manusia membutuhkan air bersih untuk menjamin kelangsungan hidupnya, baik untuk pemenuhan kebutuhan air minum, pemenuhan MCK (Mandi, Cuci, Kakus),  pemenuhan kebutuhan industri, dan pemenuhan kebutuhan lainnya. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan saat ini, terutama di kota-kota besar adalah kebutuhan air bersih seringkali tidak terpenuhi dengan baik. Hal  yang demikian  sangat dirasakan oleh warga DKI Jakarta. Tarif  biaya yang diterapkan oleh PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM (PAM JAYA)  (Perusahaan Daerah Air Minum) dirasakan mahal oleh sebagian warga, selain itu kualitas air yang ada juga dinilai masih buruk. Salah satu hal yang miris adalah kenyataan yang ada di DKI Jakarta bahwa tidak semua warga bisa menikmati air bersih. Sebagian warga DKI Jakarta yang kurang mampu terpaksa lebih memilih menggunakan air dengan kualitas buruk, seperti air sungai atau air danau. Padahal seharusnya air bersih merupakan kebutuhan dasar setiap warga yang harus terpenuhi. Hal tersebut juga tercantum di dalam  konstitusi dasar Republik Indonesia, yakni UUD 1945 pasal 33 ayat 3, dimana dinyatakan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan yang ada di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”

Kepadatan penduduk DKI Jakarta menjadi salah satu masalah yang dihadapi oleh pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah dalam upayanya memenuhi kubutuhan barang dan jasa warganya. Padatnya penduduk DKI Jakarta ternyata mempengaruhi tata kelola sumber daya alam di DKI Jakarta, termasuk sumber daya air bersih. Jumlah penduduk DKI Jakarta selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, berdasarkan data terbaru dari Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Administrasi DKI Jakarta pada bulan Januari 2011, jumlah penduduk DKI Jakarta sudah mencapai 8.525.243 jiwa.

Jika kita membandingkan dengan Negara tetangga yang sudah memiliki pengelolaan air bersih yang bagus yakni Singapura maka kita bisa melihatnya adanya korelasi antara jumlah penduduk dan luas wilayah dengan beban pemerintah dalam memenuhi kesejahteraan warganya.  Jumlah penduduk DKI Jakarta lebih banyak dari jumlah penduduk Singapura, yakni sebanyak 5,08 juta jiwa. Luas wilayah DKI Jakarta dan Singapura ternyata hampir sama, yakni DKI Jakarta ± 650 km2 dan Singapura ±  639 km2. Akan tetapi banyak kondisi yang menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok di antara keduanya jika dilihat dari pengelolaan sumber daya dan penyediaan barang dan jasa untuk masyarakatnya. Singapura ternyata memiliki kondisi yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan DKI Jakarta, termasuk juga dalam pengelolaan air bersih bagi masyarakatnya[1].  Dalam hal ini bisa dilihat bahwa beban pemerintah Singapura lebih ringan jika dibandingkan dengan Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Namun, bukan menjadi suatu alasan bagi pemerintah ketika beban Pemerintah Daerah DKI Jakarta lebih tinggi kemudian pelayanan kepada masyarakat yang diberikan menjadi lebih buruk. Seharusnya dengan semakin tingginya beban pemerintah (tingginya jumlah penduduk) bisa menjadi motivasi pemerintah untuk memberikan pelayanan barang dan jasa yang lebih baik, yang dalam hal ini adalah pengelolaan air bersih.

Tabel 1. Jumlah Penduduk Provinsi DKI Jakarta

Bulan : Januari 2011

Wilayah WNI WNA Total
LK PR Jumlah LK PR Jumlah
Jakarta Pusat 500.254 416.127 916.381 190 146 336 916.717
Jakarta Utara 777.269 645.408 1.422.677 269 240 509 1.423.186
Jakarta Barat 869.301 765.950 1.635.251 334 302 636 1.635.887
Jakarta Selatan 1.060.829 831.106 1.891.543 407 268 675 1.892.610
Jakarta Timur 1.430.380 1.204.163 2.634.543 127 109 236 2.634.779
Kep. Seribu 11.535 10.529 22.064 0 0 0 22.064
TOTAL 4.649.568 3.874.283 8.522.851 1.327 1.065 2.392 8.525.243

Sumber : Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Administrasi[2]

Banyaknya jumlah penduduk DKI Jakarta ternyata memberikan dampak kepada lingkungan. Salah satu dampak negatif yang tidak bisa dielakan lagi adalah adanya kerusakan lingkungan. Salah satu kerusakan lingkungan yang terjadi adalah penurunan tanah yang terjadi di beberapa daerah di DKI Jakarta akibat pengeksploitasian air tanah yang berlebihan. Hal ini selaras dengan yang diungkapkan oleh Peni Susanti, Kepala Biro Pengelolaan Lingkungan Hidup DKI Jakarta, bahwa akibat pemakaian air tanah yang berlebihan banyak terjadi kerusakan di beberapa daerah di DKI Jakarta. [3]Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut sehingga kerusakan lingkungan tidak akan semakin parah lagi.

Penanganan yang dilakukan pemerintah daerah selama ini ternyata belum memberikan perbaikan lingkungan yang signifikan. Misalnya saja dalam penanganan kerusakan lingkungan yang berupa penurunan permukaan tanah (amblas) di beberapa daerah di DKI Jakarta, pemerintah hanya sibuk membuat peraturan daerah sebagai upaya meminimalisir penggunaan air tanah yang ternyata sampai saat ini penggunaan air tanah di DKI Jakarta masih tinggi. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya kasus  pelanggaran yakni penggunaan air tanah secara legal yang dilakukan oleh rumah tangga maupun industri.

Berdasarkan kondisi yang ada di dalam masyarakat saat ini maka muncul pertanyaan yang mengantarkan penulis memulai penulisan ini. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah Siapa saja aktor yang terlibat dalam penyelenggaraan pengelolaan air bersih DKI Jakarta? Apa yang menjadi masalah, peluang, dan tantangan DKI Jakarta dalam mengelola air bersih? Apa solusi yang bisa dilakukan dalam perbaikan pengelolaan air bersih DKI Jakarta? Pertanyaan-pertanyaan tersebut membawa penulis untuk bisa menjawabnya melalui tulisan ini. Jadi tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui Siapa saja aktor yang terlibat di dalam pengelolaan air bersih DKI Jakarta. Selain itu juga untuk mengetahui masalah, peluang, dan tantangan DKI Jakarta dalam pengelolaan air bersih serta untuk mengetahui solusi yang bisa dilakukan dalam perbaikan pengelolaan air bersih DKI Jakarta. Penulis menggunakan studi pustaka untuk menunjang penulisan.

Konsep air sebagai kebutuhan hidup

Air adalah materi esensial di dalam kehidupan. Tidak ada satu pun makhluk hidup yang berada di planet bumi ini yang tidak membutuhkan air. Di dalam sel hidup, baik pada manusia, tumbuh-tumbuhan atapun hewan akan terkandung sejumlah air.  Jika kandungan itu berkurang, misalnya dehidrasi pada manusia yang diakibatkan muntaber, kalau tidak cepat ditanggulangi akan mengakibatkan kematian. Tanaman yang lupa tidak disiram pun akan layu dan kalau dibiarkan akan mati. Kebutuhan terhadap air untuk keperluan sehari-hari di lingkungan rumah tangga, ternyata berbeda untuk tiap tempat, tiap tingkatan kehidupan atau untuk tiap bangsa dan Negara. Semakin tinggi taraf  kehidupan, semakin meningkat pula kebutuhan terhadap air.

Data yang ada di lingkungan Lembaga Kesehatan (WHO) menunjukkan bahwa kebutuhan air untuk Negara-negara yang sudah maju sangat tinggi jika dibandingkan dengan Negara yang sedang berkembang atau apalagi Negara terbelakang.  Misalnya kebutuhan air untuk penduduk Kota Chicago AS, rata-rata 800 liter per kapita, untuk penduduk kota Paris Perancis rata-rata 640 liter per kapita, untuk Tokyo Jepang rata-rata 645 liter per kapita. Hal tersebut sangat berbeda dengan yang ada di Indonesia, dimana rata-rata kebutuhan airnya hanya sekitar sekitar 65 liter per kapita.

Dari 40 juta mul-kubik air yang berada di planet bumi, baik berupa air yang berada di dalam atau permukaan, ternyata tidak lebih dari 0,5% atau 0,2 juta mil-kubik yang secara langsung dapat dipergunakan untuk kepentingan manusia. Sisanya sekitar 97% berbentuk air laut, serta 2,5% berbentuk salju dan es abadi yang dalam keadaan mencair baru akan dapat digunakan secara langsung oleh manusia.[4]

Oleh karena itu, setiap saat sumber-sumber air baru dicari dan dicoba kemungkinannya. Ini berkaitan dengan kemajuan dan peningkatan taraf kehidupan manusia yang membutuhkan air, baik untuk kepentingan rumah tangga secara langsung ataupun untuk kepentingan lainnya secara tidak langsung, seperti penunjang proses industry, pengairan pertanian, dan pembangkit tenaga listrik, dan sebagainya. Beberapa upaya banyak dilakukan antara lain dengan[5] :

  1. Mencari sumber air baru (air tanah, air danau, air sungai, dan sebagainya)
  2. Mengolah dan menawarkan air laut atau sumber air yang berkadar garam tinggi.
  3. Mengolah dan memurnikan kembali air kotor (air tercemar) baik yang berada di sungai, di danau, ataupun pada tempat-tempat lainnya yang memungkinkan.
  4. Mengolah dan memurnikan air hujan.[6]

Dengan keadaan yang ada saat ini dimana semakin sulit menemukan tempat dan sumber air dan semakin tinggi pula nilai pencemaran maka akan semakin tinggi pula biaya untuk pengolahan dan pemurnian air tersebut. Hal ini yang nantinya menyebabkan banyak masyarakat yang kurang mampu tidak bisa menikmati air bersih yang ada karena tingginya tarif yang dikenakan. Di sisi lain akan semakin banyak penggunaan air tanah illegal.

Pada tanggal 14—25 Maret 1977, di Mar del Plata, Argentina, telah diadakan konferensi Dunia Masalah Air yang diadakan oleh PBB. Urgensi diadakannya konferensi ini mengingat ada beberapa masalah utama yang harus dihadapi dunia berkaitan dengan masalah air, terutama dalam menghadapi krisis air abad ke-21, yaitu:

  1. Kecenderungan di masa mendatang, dunia akan menghadapi krisis air yang berkepanjangan.
  2. Masalah pencemaran yang memasuki badan air yang semakin meningkat dan menghebat.
  3. Jumlah kebutuhan air yang semakin meningkat setiap saat.
  4. Tindakan dan upaya bersama untuk menanggulanginya.

Dalam resolusi PBB tersebut, disebutkan bahwa penyediaan air yang bermutu baik dalam seluruh kegiatan masyarakat dinilai penting, tetapi pengembangan sumber daya air yang dapat menambah kesejahteraan masyarakat dan kegiatan ekonomi tidak banyak diketahui atau kurang populer. Seperti di berbagai negara, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi, keadaan air semakin memburuk sehingga dapat menghambat pertumbuhan sumber daya air yang diperlukan. Oleh karena itu, kesadaran dari masing-masing sangat diperlukan untuk usaha ini.

Sebuah laporan yang diterbitkan oleh Lembaga Pengamat Bumi, kelompok studi yang dibiayai oleh Lembaga Swadaya Masyarakat serta badan-badan di bawah PBB diketuai oleh Sandra Postel, berjudul “Air untuk Pertanian, Menghadapi Keterbatasan”. Laporan itu secara cermat dan rinci telah memberikan tanda bahaya menjelang tahun 2000-an, dunia akan menghadapi krisis air yang sangat parah, terutama untuk air tawar, mulai dari Cina Selatan sampai ke kawasan Amerika Serikat bagian barat. Ramalan Dr. Sandra Postel pada awal tahun 1980-an tersebut ternyata mulai menampakkan gejalanya. Di  Timur Tengah terjadi konflik perebutan sumber air di sungai Nil antara Negara-negara yang dilaluinya seperti Mesir, Kenya, Ethiopia, Sudan, dan Libya, Irak, Turki, Syiria, Yordania, dan Israel. Berbagai upaya dilakukan oleh Negara-negara yang mengalami krisis air, seperti misalnya yang dilakukan oleh Israel yang mencoba memanfaatkan air tanah sekitar Gurun Negev sedalam lebih dari 400 meter dengan cara memompa. Akibatnya, sumber air di sekitarnya yang termasuk Negara tetangga Israel juga mengalami penurunan air yang drastis, yang kemudian menimbulkan sengketa panjang. Hal yang demikian terjadi pula di Indonesia, khususnya di Ibu Kota DKI Jakarta. Kelangkaan air sangat dirasakan oleh warga dan  ke depannya dibutuhkan solusi yang nyata untuk mengatasinya.

Teori Kebijakan dan Masalah Publik

Menurut Thomas R. Dye, kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. [7] Sifat kebijakan public dapat dipahami secara lebih baik bila konsep ini dirinci menjadi beberapa kategori, seperti tuntutan-tunutan kebijakan (policy demands), keputusan-keputusan kebijakan (policy decisions), pernyataan-pernyataan kebijakan (policy statements),hasil-hasil kebijakan (policy outputs), dan dampak-dampak kebijakan (policy outcomes).[8] Kebijakan public muncul dari adanya masalah public yang menuntut penyelesaian(solusi) demi terciptanya kehidupan masyarakat yang lebih baik. Secara formal suatu masalah dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi situasi yang menimbulkan kebutuhan atau ketidakpuasan pada sebagian orang yang menginginkan pertolongan atau perbaikan. Sedangkan masalah public dapat diartikan sebagai masalah-masalah yang mempunyai dampak yang luas dan mencangkup konsekuensi-konsekuensi bagi orang-orang yang tidak secara langsung terlibat.

Persoalan yang sering muncul dalam melakukan kajian terhadap masalah-masalah public adalah bahwa tidak semua masalah mendapat tanggapan yang memadai oleh para pembuat kebijakan. Hanya masalah-masalah tertentu saja yang mendapat tanggapan. Pada tahap inilah kemudian timbul pertanyaan, mengapa hal ini terjadi? Mengapa hanya masalah-masalah tertentu yang dianggap sebagai masalah-masalah public sedangkan masalah-masalah lain tidak dianggap sebagai masalah public? Untuk menjawab pertanyaan ini, Charles O. Jones membuat dua tipe masalah-masalah public (public problem), yakni: Pertama, masalah-masalah tersebut dikarakteristikan oleh adanya perhatian kelompok dan warga kota yang terorganisasi yang bertujuan untuk melakukan tindakan (action). Kedua, masalah-masalah tersebut tidak dapat dipecahkan secara individual atau pribadi (dengan demikian ia menjadi masalah public), tetapi kurang terorganisasi dan kurang mendapat dukungan.[9]

Pembedaan seperti yang diungkapkan Jones merupakan sesuatu yang kritis dalam memahami kompleksitas proses yang berlangsung dimana beberapa masalah bisa sampai ke pemerintah, sedangkan beberapa masalah yang lain tidak. Dengan demikian, bila kita merujuk pada pendapat Jones di atas, maka suatu masalah bisa masuk ke agenda pemerintah atau tidak tergantung pada sifat dukungan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap masalah tersebut. Jika suatu masalah public mendapat dukungan yang luas di kalangan masyarakat dan kelompok-kelompok yang berkepentingan terhadap masalah tersebut mengorganisasikan diri  (seperti misalnya melakukan demonstrasi), maka besar kemungkinan masalah tersebut akan masuk ke agenda pemerintah.

Gambaran Umum DKI Jakarta

Daerah Khusus Ibukota Jakarta mempunyai luas wilayah ± 650 km2. Secara geografis wilayah DKI Jakarta terletak antara 106 22’ 42″ BT sampai 106 58’ 18″ BT dan -5 19’ 12″ LS sampai -6 23’ 54″ LS. Batas-batas wilayah DKI Jakarta adalah :

  • Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa
  • Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Bekasi
  • Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor
  • Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tangerang

Berdasarkan Pasal 6 UU No. 5/1974 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 25 tahun 1978 wilayah DKI Jakarta dibagi habis dalam 5 wilayah kota yang setingkat dengan Kota Madya Daerah Tingkat II dan berada langsung di bawah Derah Khusus Ibukota Jakarta yang terdiri dari 30 kecamatan dan 236 Kelurahan. Pembagian wilayah tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pebagian wilayah administratif Pemerintah Daerah DKI Jakarta

No. Wilayah Jml Kec Jml Kel Keterangan

2

3

4

5

Jakarta Utara 

Jakarta Pusat

Jakarta Timur

Jakarta Selatan

Jakarta Barat

7

7

6

5

29 

41

58

61

47

  1. Termasuk Kepulauan Seribu

Sumber : Rencana Umum Tata Ruang DKI

Dilihat keadaan topografinya wilayah DKI Jakarta dikatagorikan sebagai daerah datar dan landai. Ketinggian tanah dari pantai sampai ke banjir kanal berkisar antara 0 m sampai 10 m di atas permukaan laut diukur dari titik nol Tanjung Priok. Sedangkan dari banjir kanal sampai batas paling Selatan dari wilayah DKI antara 5 m samapi 50 m di atas permukaan laut. Daerah pantai merupakan daerah rawa atau daerah yang selalu tergenang air pada musim hujan. Di daerah bagian Selatan banjir kanal terdapat perbukitan rendah dengan ketinggian antara 50 m sampai 75 m. Sungai-sungai yang ada di wilayah DKI Jakarta antara lain : S. Grogol, S. Krukut, S. Angke, S Pesanggrahan dan S. Sunter.

Seluruh dataran wilayah DKI Jakarta terdiri dari endapan aluvial pada jaman Pleistocent setebal ± 50 m. Bagian Selatan terdiri dari lapisan aluvial yang memanjang dari Timur ke Barat pada Jarak 10 km sebelah Selatan pantai. Di bawahnya terdapat lapisan endapan yang lebih tua. Kekuatan tanah di wilayah DKI Jakarta mengikuti pola yang sama dengan pencapaian lapiasan keras di wilayah bagian utara pada kedalaman 10 m – 25 m. Makin ke Selatan permukaan keras semakin dangkal yaitu antara 8 m – 15 m. Wilayah DKI Jakarta termasuk tipe iklim c dan D menurut klasifikasi iklim Schmit Ferguson dengan curah hujan rata-rata sepanjang tahun 2000 mm. Wilayah Dki Jakarta termasuk daerah tropis beriklim panas dengan suhu rata-rata per tahun 27 C dengan kelembaban antara 80 % sampai 90 % . Temperatur tahunan maksimum 32 C dan minimum 22 C. Kecepatan angin rata-rata 11,2 km/jam.

Pengelolaan air bersih DKI Jakarta

Dalam pelaksanaannya, pengelolaan air bersih DKI Jakarta melibatkan berbagai aktor atau lembaga. Aktor-aktor tersebut antara lain[11]:

  1. Kementrian Pekerjaan Umum (KemenPU), Sebagai departemen teknis, Kementrian Pekerjaan Umum Kementrian Pekerjaan Umum bertanggungjawab atas pembangunan pengairan, jalan dan jembatan, air bersih dan sanitasi, dan tata ruang. Kementrian Pekerjaan Umum telah membentuk Badan Pendukung Sistem Pengendalian Air Minum yang mempunyai fungsi memberi rekomendasi kebijakan kepada Menteri PU dalam pengembangan penyediaan prasarana air bersih.
  2. Kementrian Keuangan (KemenKeu), Kementrian Keuangan berkenaan dengan pembangunan penyediaan air bersih merupakan pemilik dari seluruh aset yang ada di bawah PDAM yang menerima bantuan pendanaan melalui pinjaman luar negeri atau penyertaan pemerintah. PDAM-PDAM ini diwajibkan membayar kembali pinjaman kepada KemenKeu. Setiap pengalihan aset atau  pemusnahan aset harus mendapatkan izin (persetujuan) dari KemenKeu. KemenKeu melalui Direktorat Jenderal Anggaran bertanggungjawab atas pengalokasian anggaran untuk pembangunan proyek-proyek sektoral dan melalui Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan mengelola perjanjian penerusan pinjaman, dimana pemerintah daerah dan BUMD-nya (seperti PDAM) dapat meminjam dana yang disediakan melalui bantuan pendanaan eksternal di tingkat pusat.
  3. Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah (PUOD) bertanggungjawab  atas pengawasan dan monitoring kinerja pemerintah daerah dan pegawainya. Fungsi penting yang kedua dari PUOD adalah manajemen dan dukungan kepada perusahaan daerah air minum.
  4. Kementrian Kesehatan, Berkenaan dengan sektor air bersih, Kementrian Kesehatan (KemenKes) bertanggungjawab atas penerbitan persyaratan kualitas air bersih dan air minum. Penyelenggara air bersih wajib mematuhi standar-standar yang dikeluarkan oleh KemenKes, dan KemenKes mempunyai hak untuk melakukan inspeksi dan pemantauan mengenai air bersih dan air minum yang diproduksi oleh instalasi pengolahan air bersih.
  5. Kementrian Negara Lingkungan Hidup, Kementerian Negara Lingkungan Hidup (MennegLH) menetapkan kebijakan-kebijakan mengenai pengendalian pencemaran air dan isu-isu lingkungan lainnya. MennegLH juga merencanakan pelaksanaan dari program-program lingkungan, dukungan masyarakat di bidang lingkungan, dan melakukan koordinasi kegiatan-kegiatan opersional dari Bappedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan)lyang dibentuk pada tahun 1990, bertanggungjawab langsung kepada Presidentetapi kegiatan operasinya dikoordinir oleh MennegLH. Bappedal membantu dalam formulasi kebijakan-kebijakan mengenai pelaksanaan pengendalian pencemaran, termasuk pengelolaan zat beracun dan berbahaya. Bappedal juga melakukan kegiatan pemantauan dan pengendalian, bertindak sebagai pusat referensi mengenai pencemaran lingkungan, dan mendorong peran serta masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan.
  6. Kementrian Pertambangan dan Energi, Kementrian Pertambangan dan Enersi (Kementamben) bertanggungjawab atas eksplorasi dan pengumupulan data mengenai sumbers-umber air tanah dan thermal, juga menerbitkan perijinan eksplorasi melalui Direktorat Lingkungan Geologi.
  7. Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), Bappenas bertanggungjawab atas penyiapan program-program pembangunan nasional jangka panjang dan jangka menengah, dan khususnya mengenai target pembangunan dan anggaran sektoral, evaluasi terhadap efefktifvitas proyek dan usulan program.
  8. Pemerintah Daerah DKI Jakarta, Pemda DKI Jaya merupakan pemilik dari PDAM DKI Jaya. Pemda DKI Jakarta dikepalai oleh Gubernur yang dibantu oleh sejumlah Wakil Gubernur, terutama Wakil Gubernur bidang Pembangunan yang menangani pembangunan sektor air bersih. Badan Regulator PAM DKI Jakarta melapor kepada Gubernur melalui Wakil Gubernur Pembangunan.
  9. Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta (PAM Jaya), PAM Jaya yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah No. No. 13 Tahun 1992,  bertanggungjwawab atas penyediaan pengelolaan air bersih untuk wilayah DKI Jakarta. Pada tahun 1997, PAM Jaya mengadakan perjanjian kerja sama (konsesi) dengan dua mitra swasta, yaitu PT PAM Suez Lyonnaise des Euax-Dumez (Palyja) dari France  and PT Thames PAM Jaya (TPJ) dari UK. Dalam perjanjian kerja sama, PAM  Jaya selaku Pihak Pertama mempunyai hak selama masa konsensi melakukan pemeriksaan, pengkajian, penilaian dan evaluasi atas kinerja kedua mitra swasta sebagai  Pihak Kedua, membuat rekomendasi kepada Badan Regulator mengenai penetapan tarif, menerima dan menyetujui program pembangunan 5 tahun yang disusun oleh Pihak Kedua, dan menerima bagian pendapatan, pendapatan yang tidak dibagi, obligasi bulanan (jika ada).
  10. Palyja (Mitra Swasta Wilayah Jakarta Barat), PT PAM Lyoinnasie Jaya (Palyja) merupakan salah satu mitra swasta atau operator dalam Perjanjian Kerja Sama dengan PAM  Jaya. Palyja dibentuk pada tahun 1998 ketika Lyonnaise dari Perancis mengikat perjanjian kerja sama dengan PAM Jaya. Dalam perjanjian konsesi 25-tahun, Palyja mengelola, mengoperasikan, memelihara dan membangun sistem penyediaan air bersih bagi penduduk DKI Jakarta wilayah Barat. Atas nama Pemda DKI Jakarta, Palyja juga melakukan kegiatan-kegiatan penagihan dan pengumpulan tagihan, sedang penetapan tarif merupakan tanggungjawab Pemda dan DPRD DKI Jakarta.
  11. Komite Pelanggan Air Minum, KPAM dibentuk di tiap kota (Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan Jakarta Timur) yang mewakili kepentingan konsumen di wilayahnya. KPAM didirikan pada tahun 2001.
  12. Forum Komunikasi Pengelolaan Kualitas Air Minum Indonesia (FORKAMI), FORKAMI merupakan LSM yang bergerak di bidang kualitas air minum. FORKAMI bekerjasama dengan Badan Regulator melaksanakan Survey Kepuasan Pelanggan (SKP), termasuk kemampuan daya masyarakat (affordability) dengan jumlah responden sekitar 1000 rumah tangga.
  13. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), YLKI adalah LSM yang bergerak di bidang perlindungan konsumen. Perlindungan konsumen diatur oleh Undang-undang No. 8 Tahun 1999.
  14. Perum Jasa Tirta II (PJT II), PJT II merupakan perusahaan umum Negara yang mengelola dan mengatur penyaluran air baku dari bendungan Jatiluhur untuk kepentingan pertanian, industri, dan rumah tangga. PJT II memasok air baku ke Jakarta melalui Tarum kanal Barat sebesar 14,74 m3/detik, yang disalurkan ke wilayah Timur sebesar 9,34 m3/detik dan wilayah Barat sebesar 5,4 m3/detik.

Masalah, Tantangan, dan Peluang DKI Jakarta dalam Pengelolaan air bersih

Mengelola air bersih di DKI Jakarta bukanlah suatu hal yang mudah. Usaha pengelolaan air bersih dihadapkan pada berbagai permasalahan yang menuntut untuk segera dicari solusinya. Tidak hanya permasalahan saja yang dihadapi, pengelolaan air bersih DKI Jakarta juga dihadapkan pada berbagai tantangan. Permasalahan dan tantangan yang ada diharapkan bisa menjadi motivasi untuk bisa meningkatkan kualitas pengelolaan air bersih DKI Jakarta.

Permasalahan yang dihadapi oleh penyelenggara pengelolaan air bersih DKI Jakarta sangatlah kompleks, mulai dari terbatanya ketersediaan dan suplai air baku, peningkatan kebutuhan (demand), cakupan layanan yang masih relatif rendah, tingginya angka kehilangan air, masih rendahnya standar pelayanan, dan sampai adanya tuntutan terhadap kebijakan pembatasan ektraksi air tanah dalam (deep groundwater) mengharapkan solusi yang bisa dengan segera diwujudkan. Tantangan yang dihadapi oleh penyelenggara pengelolaan air bersih DKI Jakarta adalah adanya pelanggaran penggunaan air tanah. Hal ini mengacu ada perda DKI Jakarta No.10 Tahun 1998. Akan tetapi, tidak hanya permasalahan dan tantangan saja yang ada, DKI Jakarta sebenarnya memiliki peluang dalam penyelenggaraan pengelolaan air bersihnya. Hal ini penulis melihat dari potensi yang ada di lingkungan DKI Jakarta, dimana mempunyai banyak peluang yang bisa dimanfaatkan guna meningkatkan pelayanan air bersih DKI Jakarta. Peluang tersebut misalnya saja adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa dimanfaatkan dalam pengelolaan air bersih DKI Jakarta. Tidak hanya kemajuan ilmu pengentahuan dan teknologi, DKI Jakarta juga terletak di pantai utara Pulau Jawa, yang itu artinya lokasinya berada di dekat laut. Lokasi yang dekat dengan laut akan memudahkan pengadaan pemanfaatan air laut sebagai salah satu alternative penyelesaian permasalahan kelangkaan air bersih.

Permasalahan, tantangan dan peluang dari penyelenggaraan pengelolaan air bersih DKI Jakarta perlu dipahami dengan baik sehingga nantinya dalam proses pengambilan kebijakan akan tepat sasaran. Hal ini sesuai dengan Teori Kebijakan Publik dimana kebijakan publik muncul dari adanya masalah publik yang menuntut penyelesaian(solusi) demi terciptanya kehidupan masyarakat yang lebih baik. Di dalam prosesnya, seringkali pembuatan kebijakan public tidak bisa memahami permasalahan, tantangan, dan peluang yang ada di dalam masyarakat. Kebijakan public seringkali dipolitisasi oleh kelompok-kelompok yang berkepentingan sehingga tujuan dari adanya kebijakan public seringkali tidak sejalan dengan permasalahan public yang melatarbelakangi  pembuatan kebijakan public tersebut. Hal ini sering terjadi di dalam proses pembuatan kebijakan public di Indonesia, termasuk kebijakan public dalam penyelenggaraan pengelolaan air bersih (air minum) DKI Jakarta.

Permasalahan public seringkali tidak atau kurang mendapat perhatian yang serius dari para stakeholder yang ada. Umumnya permasalahan public yang menjadi fokus para stakeholder adalah permasalahan public yang  berada dalam bidang yang dianggap trategis saja seperti bidang keuangan (APBN), pertambangan, pembangunan infrastruktur, dan sebagainya yang dirasa lebih menjanjikan karena bisa memberikan “keuntungan” bagi para stakeholder yang ada. Jika mengacu pada teori dari Charles O. Jones, ada tipe masalah-masalah public (public problem), yakni: Pertama, masalah-masalah tersebut dikarakteristikan oleh adanya perhatian kelompok dan warga kota yang terorganisasi yang bertujuan untuk melakukan tindakan (action). Kedua, masalah-masalah tersebut tidak dapat dipecahkan secara individual atau pribadi (dengan demikian ia menjadi masalah public), tetapi kurang terorganisasi dan kurang mendapat dukungan. Hal yang demikian terjadi pula pada permasalahan yang ada di dalam penyelenggaraan pengelolaan air bersih DKI Jakarta. Permasalahan yang ada seringkali tidak menjadi fokus perhatian stakeholder, yang dalam hal ini dikhususkan untuk pemerintah daerah DKI Jakarta sebagai pemegang kendalinya. Permasalahan yang terkait dengan isu lingkungan memang seringkali lebih dikesampingkan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta, seperti yang dialami oleh permasalahan yang terkait dengan kelangkaan air bersih dan terjadinya penurunan muka air tanah. Padahal hal ini bisa dikaji jika memang pemerintah daerah DKI Jakarta memiliki komitmen tinggi untuk mau  meningkatkan pelayanan air bersih (air minum) bagi warganya.

DKI Jakarta Mengalami Kelangkaan Air Bersih

Sudah sering diberitakan di berbagai media massa mengenai isu kelangkaan air yang melanda DKI Jakarta. Dalam praktiknya, PAM Jaya sebagai penyelenggara pelayanan air bersih DKI Jakarta ternyata belum mampu menjalankan peranannya dengan baik. Ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan air bersih DKI Jakarta salah satu penyebabnya adalah adanya kelangkaan atau minimnya debit air yang ada. Hal yang miris akibat adanya kelangkaan air bersih di DKI Jakarta adalah masih banyaknya masyarakat yang belum bisa menikmati air bersih yang dikelola oleh PAM Jaya. Masih terbatasnya akses PAM Jaya untuk semua masyarakat menjadi salah satu penyebabnya. Selain itu, adanya tariff yang tinggi juga mejadi salah satu penyebab masih banyaknya masyarakat DKI Jakarta yang lebih memilih menggunakan air tanah atau terpaksa menggunakan air permukaan yang ada seperti air sungai dan air danau yang pada umumnya sudah mengalami pencemaran.

Jika kita melihat pada dasar konstitusi Negara, yakni UUD 1945 pasal 33 ayat 3 dan penjabarannya pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, negara menjamin hak setiap orang mendapat air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari untuk memenuhi kehidupan sehat, bersih, dan produktif. Dalam Pasal 6 disebutkan, penguasaan sumber daya air oleh negara digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.[12] Namun, hal seperti yang tercantum pada peraturan dasar tersebut belumlah menjadi kenyataan. Adanya kelangkaan air bersih menjadi penyebabnya, walaupun sebenarnya kelangkaan bukanlah alasan pemerintah daerah untuk bisa memberikan pelayanan air bersih kepada masyarakat dengan apa adanya saja. Pemerintah daerah DKI Jakarta bisa belajar dari kesuksesan Negara lain, misalnya Singapura. Singapura, dengara yang kondisinya hamper sama dengan DKI Jakarta mampu memiliki pelayanan air bersih yang bagus.

Permasalahan kelangkaan air bersih yang ada di DKI Jakarta merupakan dampak dari adanya berbagai permasalahan-permasalahan sebelumnya. Jika penulis menganalisis, permasalahan kelangkaan air bersih berlatar belakang permasalahan juga yang menuntut untuk segera diatasi. Permasalahan yang menurut penulis merupakan latar belakang dari adanya kelangkaan air bersih DKI Jakarta antara lain;

  1. Pencemaran sungai di DKI Jakarta. Provinsi DKI Jakarta dilalui oleh 13 sungai yang mengalir dari arah Selatan ke Utara dan bermuara di Teluk Jakarta. Permasalahan yang terjadi disebagian besar sungai di DKI Jakarta adalah penyempitan badan sungai, kemudian sungai dijadikan tempat pembuangan sampah, air limbah domestik dan limbah cair industri. Berdasarkan data tahun 2009, 88% sungai di DKI Jakarta tercemar berat, 12% tercemar sedang, dan tercemar ringan 0%. Dengan adanya pencemaran air sungai, maka air sungai yang seharusnya bisa dijadikan salah satu alternative sumber air bersih menjadi tidak bisa dimanfaatkan lagi. Selain pencemaran air sungai, air tanah dangkal yang seharusnya bisa dijadikan sebagai salah satu sumber air bersih DKI Jakarta juga mengalami hal yang sama. Kualitas air tanah dangkal di DKI Jakarta berdasarkan data tahun 2007 kondisi baik sebesar 25%, tercemar ringan 43%, tercemar sedang 20% dan tercemar berat 12%. Pencemaran air tanah ini disebabkan karena pencemaran bakteri E.Coli yang berasal dari feces manusia.[13] Parahnya lagi, sebagian warga masih menggunakan air sungai dan air tanah dangkal (air sumur rumah tangga) sebagai salah satu sumber air bersihnya.
  2. Lemahnya daya serap dan pemanfaatan air hujan.  Di tengah ancaman kelangkaan air bersih, potensi air hujan DKI Jakarta yang mencapai 2000 juta m3/tahun tidak terserap optimal. Hanya 26,6% yang terserap ke dalam tanah dan sisanya 73,4% terbuang sia-sia ke laut. Tentu saja hal ini terkait dengan rendahnya kemampuan resapan air hujan akibat tata guna lahan yang salah di DKI Jakarta.
  3. Air laut dan air tercemar belum dimanfaatkan dengan baik. Air laut sebenarnya bisa dijadikan sebagai salah satu alternatf sumber air bersih. Hal ini tentunya setelah air laut mengalami proses desalinasi atau penawaran dari air laut menjadi air tawar. Hal ini telah banyak dilakukan oleh banyak Negara maju yang sadar akan kelangkaan air bersih, seperti di Singapura.  Tidak hanya itu, air tercemar pun sebenarnya bisa dimanfaatkan sebagai sumber air bersih ketika sudah mengalami proses daur ulang. Hal ini juga yang dilakukan oleh Singapura. Bahkan air bersih yang berasal dari air daur ulang atau sering disebut newwater telah mampu mencukupi hamper 50% kebutuhan air bersih di Singapura. [14]
  4. Tingginya tingkat kehilangan air bersih DKI Jakarta. Permasalahan inilah menjadi fokus penyelenggara pengelolaan air bersih DKI Jakarta. Kehilangan air dapat dilihat dari dua sisi: dari sisi kehilangan itu sendiri dan dari sisi jika tidak kehilangan. Pemahaman dua dimensi ini memberikan kita gambaran bahwa kehilangan air merupakan wanprestasi dari suatu proses pelayanan air secara keseluruhan.  Ini penilaian dari sisi kehilangan air. Sementara dari sisi jika tidak kehilangan memberikan nilai bahwa ada hak publik yang diambil yang seharusnya ada. Dimensi ganda ini membuat pemahaman tentang kehilangan air menjadi sebuah kata kunci dalam pemahaman arti penting Non Revenue Water (Air yang tak tertagih) pada pelayanan air bersih.  NRW dan pemecahan masalahnya bisa dilihat di bagan di bawah ini:

Setiap upaya penurunan NRW akan difokuskan kepada enam indikator utama dari kehilangan air, yaitu[15]:

a.       Kebutuhan untuk peningkatan proses pelayanan, termasuk di dalamnya proses flushing secara periodik.

b.      Kebocoran yang nampak di permukaan tanah dan yang tidak nampak atau yang terjadi di dalam tanah.

c.       Kualitas jaringan, yang berarti pekerjaan pembangunan jaringan, termasuk jaringan di dalam IPA, di antara IPA dan jaringan, hingga di jaringan di dalam rumah pelanggan; kondisi jaringan termasuk bagaimana peletakan jaringan dikatkan dengan tata kota yang ada; dan umur jaringan yaitu berkenaan dengan perawatan dan rehabilitasi jaringan dan infrastuktur di dalam jaringan, yang berarti berkenaan dengan katub, meter, dan lain-lain.

d.      Penanganan penggunaan oleh konsumen secara tidak sah dan pencurian air yang dapat dilakukan oleh pelanggan maupun non-pelanggan.

e.      Sistem pengendalian termasuk di dalamnya kekuratan data, sistem data, mulai dari perangkat keras, perangkat keras, sistem, dan sumberdaya manusia. Termasuk di dalamnya kefektifan penagihan dan pengembangan diskresi penagihan untuk kondisi-kondisi khusus atau force majeur atau pun karena wanprestasi dari pelayanan yang ada.

f.        Pengendalian atas kinerja pihak ketiga yang dilibatkan dalam proses pelayanan, terutama dalam proses pencatatan meter, penagihan, dan sejenisnya.

e.  Kurangnya kesadaran warga DKI Jakarta untuk melakukan penghematan air bersih. Hal  ini tentu kembali ke masing-masing pribadi.

f. Tingginya jumlah permintaan air bersih akibat peningkatan jumlah penduduk dan kompleksitas kegiatan yang ada, seperti industri, perhotelan, dan pariwisata yang membutuhkan air bersih dalam volume yang tinggi.

Penurunan Tanah DKI Jakarta

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa DKI Jakarta juga dihadapkan pada tantangan adanya penurunan permukaan tanah akibat penggunaan air tanah yang sudah dalam kondisi mengkhawatirkan. Penurunan tanah bukan lagi menjadi isu belaka, tetapi memang sudah terjadi di beberapa daerah di DKI Jakarta. Penururnan tanah di beberapa titik di DKI Jakarta dari tahun 1982 – 2010, seperti di kawasan Mutiara Baru Jakarta Utara mengalami penurunan 116 cm, di Cengkareng Barat Jakarta Barat penurunan yang terjadi adalah 65 cm, di Jakarta Selatan 11 cm, di Jakarta Pusat 15 cm.[16] Penyebab penurunan tanah yang utama adalah adanya penggunaan air tanah yang berlebihan. Padahal sudah diatur di dalam perda DKI Jakarta No.10 Tahun 1998 tentang penggunaan air tanah, tetapi kenyataannya pelanggaran penggunaan air tanah masih sering terjadi. Banyak pelaku pengguna air tanah illegal sehingga kondisi tanah di DKI Jakarta semakin memburuk. Pelaku utama pada proses pengambilan air tanah DKI Jakarta adalah indurstri, gedung perkantoran, mal, pencucian mobil dan motor, binatu.

Konsekuensi logis yang harus diterima ketika pengambilan air tanah dilakukan terus-menerus secara berlebihan adalah adanya penurunan tanah atau bahkan ambles, kemudian gedung-gedung bertingkat miring dan retak  seperti yang terjadi pada gedung Sarinah di Jalan MH Thamrin, kemudian adanya rongga di bawah tanah yang bisa memungkin erupsi air laut. Contoh nyata yang belum lama terjadi adalah amblesnya ruas jalan RE Martadinata sepanjang 103 meter, lokasi ambels tepat berada di depan pompa Sunter Utara, Jakarta Utara. Hal ini membuktikan bahwa amblesnya tanah akibat penggunaan air tanah yang berlebihan memang nyata dan harus segera dicarikan solusi terbaiknya.

DKI Jakarta memang memiliki banyak permasalahan dan tantangan dalam pengelolaan air bersih, tetapi sebenarnya DKI Jakarta juga memiliki banyak peluang untuk bisa memperbaiki kondisi pengelolaan dan pelayanan air bersih. Peluang yang ada misalnya adalah lokasi DKI Jakarta di pantai utara Laut Jawa. Hal ini tentu bisa dijadikan peluang manakala DKI Jakarta akan memanfaatkan air laut sebagai salah satu sumber air bersih masa depan. Hal ini penting untuk disadari mengingat kondisi yang ada saat ini dimana air tanah DKI Jakarta sudah tidak bisa diandalkan lagi karena sangat beresiko tinggi bagi kestabilan tanah DKI Jakarta. Dengan memanfaatkan air laut, DKI Jakarta akan memiliki sumber air bersih yang ramah lingkungan. Peluang berikutnya adalah penguasaan informasi dan teknologi DKI Jakarta sudah tinggi, hal ini bisa menjadi penunjang dalam pelaksanaan program desalinasi air laut. Tidak hanya itu, peluang lain yang dimiliki oleh DKI Jakarta adalah tingginya curah hujan yang ada, yakni 2000 juta m3/tahun, jika hal ini dimanfaatkan dengan baik, misalnya dengan pembangunan sarana penampung dan penetralisasi air hujan, maka air hujan bisa dijadikan salah satu sumber air bersih DKI Jakarta.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang ada, penulis bisa menyimpulkan bahwa pengelolaan air bersih di DKI Jakarta melibatkan banyak pihak. Pelibatan banyak pihak (multistakeholder) akan menjadi penunjang penyelenggaraan pengelolaan air bersih DKI Jakarta. Di dalam penyelenggaraan pengelolaan air bersih DKI Jakarta  dihadapkan pada berbagai  permasalahan, mulai dari kelangkaan sumber air bersih baku, peningkatan permintaan (demand), pencemaran lingkungan, penggunaan air tanah illegal, belum meratanya akses air bersih, kehilangan air bersih tak tertagih (Non Revenue Water), hingga permasalahan kesadaran masyarakat yang masih rendah dalam pengehematan penggunaan air tanah.

Penyelengaraan pengelolaan air tanah DKI Jakarta juga dihadapkan pada tantangan yakni isu penurunan tanah.  Penyebeb utama penurunan tanah yang terjadi di DKI Jakarta adalah tingginya penggunaan air tanah. Penggunaan air tanah merupakan salah satu alternatif sumber air bersih DKI Jakarta, akan tetapi ketika penggunaan air tanah sudah berlebihan, maka penggunaan air tanah sebagai sumber air bersih sudah tidak bisa lagi dilanjutkan. Oleh karenanya, pemerintah daerah  melalui Perda DKI Jakarta No. 10 Tahun 1998 mengatur penggunaan air tanah.  Tidak hanya permasalahan dan tantangan saja, dalam penyelanggaraan pengelolaan air tanah, DKI Jakarta juga sebenarnya memiliki peluang yang besar untuk bisa melakukan perbaikan penyelenggaraan pengelolaan air bersihnya. Lokasi yang strategis di tepi pantai utara Laut Jawa, kemajuan teknologi, dan tingginya curah hujan menjadi peluang DKI Jakarta. Peluang akan dapat dirasakan manfaatnya manakala berbagai pembaharuan penyelenggaraan pengelolaan air bersih dilakukan. Dengan demikian, penyelenggaraan pengelolaan air bersih DKI Jakarta dapat menjadi lebih baik.

Rekomendasi

Sebagai akhir dari penulisan ini, penulis memberikan rekomendasi bagi perbaikan penyelenggaraan pengelolaan air bersih DKI Jakarta. Rekomendasi penulis antara lain:

  1. Perlu dilakukan kajian mendalam mengenai permasalahan, peluang, dan tantangan DKI Jakarta dalam penyelenggaraan pengelolaan air bersih. Dengan pengkajian yang mendalam, akan dapat dihasilkan solusi yang terbaik dan komprehensif. Solusi yang ada tidak lagi hanya mampu menyelesaikan per bagian dari permasalahan yang ada, tetapi mampu menyelesaikan permasalahan secara menyeluruh. Setelah melakukan kajian, maka pengembangan penyelenggaraan pengelolaan air bersih DKI Jakarta bisa dilakukan.
  2. Perlu  dilakukan studi banding penyelanggaraan pengelolaan air bersih, misalnya dengan Singapura yang sudah mampu melakukan swasembada air bersih di tengah isu kelangkaan air bersih. Studi banding tidak harus melulu melakukan kunjungan ke Singapura langsung, dengan melakukan studi literature saja studi banding sudah bisa dilakukan, tentunya studi banding dilakukan oleh pihak yang berwenang, dalam hal ini adalah pemerintah daerah DKI Jakarta dan aktor lain yang terlibat.
  3. Perlu dilakukan sosialisasi penghematan penggunaan air bersih dan juga sosialisasi tentang kondisi dan akibat pengambilan air tanah kepada masyarakat (rumah tangga, industri, perkantoran, dan lainnya). Dengan sosialisasi diharapkan masyarakat sadar dan  ikut berpartisipasi dalam menjaga lingkungan, dalam hal ini tidak melakukan pengambilan air tanah.
  4. Perlu adanya prioritas di dalam pemerintahan daerah DKI Jakarta untuk permasalahan publik yang berkaitan dengan penyelenggaraan pengelolaan air bersih. Hal ini mengingat pentingnya keberadaan air bersih sebagai penunjang kehidupan. Jadi di dalam pelaksanaan pemerintahan, misalnya pada proses pembuatan kebijakan, pemerintah diharapkan bisa membuat prioritas yang lebih tinggi pada permasalahan publik yang berkaitan dengan penyelenggaraan pengelolaan air bersih tanpa mengabaikan permasalahan publik yang lain tentunya.
  5. Perlu dilakukan penyatuan tujuan, visi, dan misi antar berbagai aktor yang terlibat di dalam penyelenggaraan pengelolaan air bersih sehingga tidak akan ada diskresi atau pun kesalahpahaman dalam penyelenggaraan pengelolaan air bersih DKI Jakarta.

Daftar Pustaka

Buku

Hauser, Philip, Garden, Robert, Laquian, Aprodicio, and El-Shakhs,Salah. Penduduk dan Masa Depan Perkotaan. 1985. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Suriawiria,Budi. Air dalam Kehidupan dan Lingkungan yang Sehat. 1996.  Bandung : Alumni

Winarno, Budi. Teori dan Proses Kebijakan Publik.. 2005. Jakarta: Media Pressindo

Artikel dalam Surat Kabar

Brahmana, Mathias, 2011. Penyedotan Air Tanah Mengkhawatirkan, Media Indonesia, Jumat 25 Februari 2011

Munandar, Aries, 2011. Singa Hijau Asia, Media Indonesia, Selasa 1 Maret 2011

Dokumen Publik

Pemerintah Daerah DKI Jakarta, 2010, Bagian Hukum, Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan dan Pemanafaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, Jakarta:Pemerintah Daerah DKI Jakarta

Internet

http://www.kependudukancapil.go.id [2011, 25 Maret]

http://www.dephut.go.id  [25 Maret 2011]

http://www.jakartawater.org%5B25 Maret 2011]


[1] Aries Munandar, Singa Hijau Asia, Media Indonesia (Maret,2011), hal. 11

[2] Lihat pada website  Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta, www.kependudukancapil.go.id

[3] Mathias Brahmana, Penyedotan Air Tanah Mengkhawatirkan, Media Indonesia (Februari,2011), hal 24.

[4] Unus Suriawiria, Air dalam Kehidupan dan Lingkungan yang Sehat, hal.3

[5] Unus Suriawiria,ibid,hal.4

[6] Unus Suriawiria,ibid,hal.5

[7] Thomas R.Dye, Understanding Publik Policy, (Second ed., Englewood Cliff, N.J: Prentice-Hal,1975),hal1.

[8] James Anderson, Publik Policy Making, (Second ed., New York: Holt, Renehart and Winston, 1979), hal.4-5.

[9] Charles O. Jones(1984), An Introduction to the Study of Publik Policy,(Third edition, Monterey Books/Cole Publishing Company,1984), hal.45.

[10] Data Kantor Kehutanan,Gambaran Umum Propinsi DKI Jakarta, http://www.dephut.go.id/INFORMASI/PROPINSI/DKI/umum_dki.html

[25 Maret 2011]

[11] Badan Regulator  Pelayanan Air Minum DKI Jakarta, http://www.jakartawater.org/index.php?option=com_content&view=article&id=82&Itemid=129&lang=en. [25 Maret 2011]

[13] Melihat website Badan Pengelola Lingkungan Hidup DKI Jakarta,  http://www.jakarta.go.id (26 Maret 2011)

[14] Aries Munandar,Singa Hijau Asia.Media Indonesia (Maret,2011), hal.11

[15] Melihat website Badan Regulator Pelayanan Air Minum DKI Jakarta, Memahami (untuk Mengatasi) Kehilangan Air Pam DKI Jakarta, http://www.jakartawater.org (Maret, 2011).

[16] [16] Mathias Brahmana, ibid. hal 25.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Maret 28, 2011 inci Opini

 

Tinggalkan komentar